Kegalauan
hati masyarakat dalam minggu-minggu ini oleh kelakuan dan tindakan kelompok
yang lagi ‘ngetop’, geng motor sepertinya sudah sampai ke puncak ubun-ubun.
Masyarakat sudah benar-benar muak menyaksikan kebrutalan mereka. Sorotan kamera
televisi yang mengantarkan kejadian sadis itu ke mata kita membuat emosi kita
terbakar. Berbagai dialog dalam aneka talk show di televisi swasta
serasa menambah kemarahan kita. Tidak saja karena kebejatan tindakan geng motor
semata yang membuat kita sakit hati akan tetapi penjelasan para panelis talk
show itu juga membosankan. Seolah-olah tidak ada jalan keluar, bagaimana
mengatasi tindakan biadab para geng motor. Seolah-olah tindakan keji yang sudah
berlangsung sejak lama itu tidak bisa diatasi oleh aparat negara. Rakyat baik
yang sudah jadi korban maupun yang menunggu giliran hanya dibuat gregetan.
Sungguh
membuat kita trenyuh dan pilu menyaksikan tindakan para geng motor terhadap
korbannya. Korban geng motor tidak sekedar cedera menderita luka atau patah
tulang namun banyak yang sampai meregang nyawa. Sungguh biadab mereka. Satu
orang korban harus menerima perlakuan sadis dari puluhan orang yang bertitel
geng motor. Para korban geng motor mati sia-sia begitu saja.
Polisi,
kalau ditanya mengapa begitu sulitnya mengatasi masalah geng motor (seperti
kita tonton di talk show- talk show itu), berbelit-belit memberi
penjelasan tapi tak tegas dalam jawaban. Lebih banyak menjelaskan bahwa
fenomena anak-anak muda yang berkumpul dalam geng motor itu adalah bukti
demokrasi di negeri ini. Setiap orang dajamin dan dibolehkan membuat kelompok
atau komunitas. Padahal yang ditanya, mengapa kepolisian tidak mampu mengatasi
masalah geng motor yang nyata sudah meresahkan. Sebenarnya pertanyaan sederhana
yang perlu diajukan dalam fenomena geng motor brutal itu adalah, siapa
sesungguhnya orang tua mereka? Adakah keluarga mereka adalah masyarakat biasa,
masyarakat kampung dan orang kecil yang miskin? Ataukah sebenarnya mereka itu
adalah anak-anak para tokoh yang terkadang berkoar-koar seolah-olah demi bangsa
juga? Di sinilah tampaknya akar permasalahannya. Kalau pun tidak semua orang
dalam geng motor adalah anak-anak orang terpandang tapi tampaknya lebih banyak
di antara mereka adalah orang dengan keluarga menengah ke atas dari pada
masyarakat biasa. Harga motor yang mahal adalah persoalan yang tidak enteng
buat masyarakat kampung dan orang kecil. Hanya anak-anak orang ‘berada’ (entah
pejabat, pengusaha, atau apa saja) yang mungkin membeli dan memiliki
motor-motor mahal seperti yang mereka pakai.
Sekali lagi, jika
pun jumlah anak-anak orang ‘gedean’ tidak banyak dalam komunitas geng motor
namun mereka pasti mempunyai pengaruh yang jauh lebih hebat dari pada anak-anak
orang biasa. Pengaruh kelebihan orang tua itu sangatlah besar terhadap
eksistensi mereka dalam geng motor.
Kalau
demikian adanya, mengatasi permasalahan geng motor yang sudah sangat menakutkan
masyarakat itu, di tahap awal (identifikasi) adalah dengan melihat siapa orang
tua atau keluarga di belakang mereka. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
ugal-ugalan yang mereka pertontonkan dengan berujung ke tindakan brutal itu
karena mereka merasa akan mendapat becking (pembelaan) dari orang tua atau
keluarga atau siapa saja yang mereka pandang dapat membantu mereka.
Seandainya
kedua orang tua atau keluarga yang mereka anggap melindungi mereka ikut turun
tangan membantu pihak keamanan mengatasi kegawatan kelakuan geng motor, dapat
dipastikan kejahatan geng motor tidak akan berlarut-larut dan tidak akan
bertahan dalam waktu yang cukup lama. Polisi konon tidak berdaya mengatasi
problema geng motor karena masih ‘pandang-memandang’, siapa orang tua para geng
motor itu. Sungguh ironi, jika ternyata para geng motor itu adalah anak-anak
pejabat yang semestinya bertanggung hawab membuat aman negeri ini. Semestinya
‘penyakit anak muda’ ini sudah dapat dikategorikan sebagai persoalan hukum
serius.
Antropologi hukum
sarasehan anak negri kasus tentang geng motor

oleh :
SUKMAWATI
B 301 07 062
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM
STUDI ANTROPOLOGI
UNIVERSITAS
TADULAKO
2012
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)